Keluhan dari Bayangan Lama

Mengeluhlah kau mengeluh

Sadarlah, kau begitu lemah dan rapuh

Sudah

Mengeluhlah

 

Untuk kali pertama ini, aku memberanikan diri untuk memperlihatkan catatan harianku kepada kalian yang mau membaca. Inilah aku yang pandai mengeluh:


Bising musik dangdut dengan lirik cerita sedih bahasa Jawa ditambah suara nyanyian koki burjo yang sumbang. Teriakan dan makian sekumpulan orang di meja pojok yang sedang bermain game Mobile Legend. Teriakan si pemain PUBG memberi info posisi musuh, silih berganti menyebut mata angin. Suara potongan musik yang terdengar dari berbagai sudut ruangan, kemungkinan semua orang membuka Tiktok, atau paling tidak membuka Instagram. Semua suara itu beradu, menyatu menjadi paduan suara yang benar-benar buruk. Untuk beberapa saat, aku tak mendengar suara apapun. Telinga ini begitu muak hingga menolak semua suara yang ada. Aku diam.

Sejenak, aku kembali ke masa lalu. Kembali mengingat, betapa dulu aku tak sabar lulus SMA. Membayangkan hidup di lingkungan mahasiswa. Bergaul dengan orang idealis penuh ambisi. Mengobrol dan berdiskusi tentang ini itu. Membeli buku bersama, bertukar pikiran setelahnya. Benar, aku membayangkan pasti tak begitu sulit menemukan pergaulan seperti itu saat kuliah nanti. Bayangan ini jauh berbeda dari apa yang aku alami saat ini, kebisingan burjo yang sangat mengganggu. Untuk saat ini, sulit untuk mewujudkan bayangan masa SMA itu.

Bayangan itu tak lain muncul saat aku selesai membaca buku tentang Soe Hok Gie dulu. Sahabat Gie dan Gie sendiri bercerita bagaimana mereka berkenalan pada pertemuan pertama mereka, bagaimana mereka bertemu hingga bagaimana mereka berperan besar dalam demonstrasi tahun 66 itu, dan tentu saja berdampak besar pada masyarakat. Bayangan ini mulai menjadi-jadi setelah aku membaca buku Laut Bercerita. Walau kisah fiksi, cerita ini sangat mirip dengan cerita mereka para aktivis 98 yang menulis pengalaman mereka di berbagai media. Orang-orang ini bertemu, makan bersama, berdiskusi di tempat makan. Membahas berbagai topik menarik, menyusun rencana, dan membahas apa yang bisa mereka lakukan demi perubahan yang baik bagi masyarakat. Bayangan itu berbeda sama sekali dengan apa yang kualami saat ini. Menjadi mahasiswa jauh berbeda dari apa yang aku pikirkan dulu.

Berkuliah di prodi manajemen makin menjauhkanku dari bayangan itu. Bergaul dengan orang yang ingin berkecimpung di dunia bisnis dan usaha, jauh dari bayanganku dulu bagaimana menjadi seorang mahasiswa. Mungkin benar memang aku salah memilih jurusan. Di awal kuliah, obrolan kami tak jauh dari bisnis, uang atau pengalaman bersertifikat agar nantinya dapat mempercantik CV kami. Jauh dari pikiranku yang sama sekali tak berminat punya sertifikat dan CV yang muluk-muluk. Mungkin mereka ingin memperbaiki hidup agar dapat menikmati masa tua. Atau memang tak punya keresahan untuk dipuaskan, biarlah. Mungkin aku harus bergaul lebih luas, bertemu orang-orang baru dan memuaskan bayangan masa SMA itu. Namun, sampai saat ini bayanganku belum terpuaskan.

Beberapa kali aku bertemu dengan orang hebat di kampus, paling tidak banyak mahasiswa yang bilang begitu. Pertemuan pertamaku dengan orang-orang ini jauh berbeda dengan cerita pengalaman para aktivis itu. Memang zaman telah jauh berbeda, tapi perbedaan ini terlampau sangat jauh. Di bayanganku, pertemuan dengan orang “hebat” ini seharusnya menjadi petemuan yang seru, kami dapat bertukar pikiran, atau saling bertanya untuk membuat ambisi besar. Aku membayangkan satu kolaborasi besar yang dapat dikerjakan bersama sebagai sesama mahasiswa. Pertemuan itu meleset jauh dari bayanganku.

Pertemuan pertama, orang ini cenderung diam dan tak mau banyak bicara. Belakangan aku ketahui ternyata ia ingin tahu terlebih dahulu latar belakangku di kehidupan kampus. Jauh berbeda dengan pertemuan mahasiswa zaman dulu. Mereka juga khawatir, tetapi mereka khawatir apakah orang itu agen ganda aparat atau benar murni mahasiswa. Jika sudah pasti sesama mahasiswa tentulah mereka berkolaborasi menjadi satu kesatuan yang padu, sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang membawa perubahan positif. Yang aku alami, orang khawatir bahwa orang baru ini adalah musuh politik mereka di kampus. Dalam kampus saja kami saling menaruh curiga, tak mau membicarakan langkah besar dalam satu pergerakan. Benar, tak ada iklim kolaborasi sebagai sesama mahasiswa.

Pertemuan-pertemuan berikutnya satu tipe. Memang wajar sesama orang baru tak banyak bicara dan mengobrol. Aku hanya orang biasa di kampus. Tak ikut dan tak terikat organisasi apapun di kampus. Tentu aku bukan orang yang dipandang dan terlihat mampu. Karena yang aku lihat, dan jika penglihatanku benar, suara yang terdengar adalah suara si pemegang jabatan. Suara yang didengar adalah si orang “hebat” di kampus. Begitulah, orang lebih terlihat dan didengar saat mereka menduduki jabatan yang tinggi di kampus. Kami tak mengobrol banyak tentang isu dan permasalahan bangsa. Mereka hanya diam dan selalu melihat hpnya. Tentu dengan suara potongan lagu yang setiap beberapa detik berganti, pasti membuka Instagram atau Tiktok. Situasi ini selalu sama, seperti kebisingan burjo yang kurasakan ini. Begitu terus hingga masing-masing dari kami berpamitan dan pulang ke rumah. Tak ada obrolan yang menyenangkanku.

Sebenarnya tidak sepenuhnya bayanganku itu meleset. Ada satu dua orang yang sejenak memenuhi bayanganku itu. Kami mengobrol banyak dan berdiskusi tentang banyak hal. Membicarakan apa langkah yang dapat dikerjakan agar menjadi sesuatu yang berdampak langsung. Tak ada obrolan gosip dan tak ada obrolan membosankan. Pertemuan ini sedikit berbeda dari yang kualami saat ini, tidak ada kebisingan burjo malam hari. Sayangnya, untuk saat ini kesempatan itu belum muncul lagi. Dan aku terlalu malu untuk meminta orang itu mau bertemu lagi dan banyak berbincang. Namun, sepanjang aku menjadi mahasiswa, orang-orang ini adalah orang langka di kampus, atau sebenarnya banyak dan aku saja yang tidak pandai memperluas pergaulan.

Dari pertemuan-pertemuan itu aku membayangkan, suatu saat orang tak lagi selalu membuka sosial media mereka. Suatu saat mahasiswa datang dengan semangat tinggi yang tak suka drama orang lain dan entertainment. Suatu saat ada obrolan menarik dan bahasan yang mungkin dapat berdampak dan dirasakan masyarakat langsung.

Jika aku boleh menilai diriku sendiri. Tentulah aku orang sombong yang banyak menuntut. Banyak mau dan banyak berkhayal tentang kehidupan mahasiswa. Orang sok idealis yang tak sadar bahwa zaman sudah berubah, zaman sudah canggih dan beradab. Memang aku banyak menuntut, aku membayangkan makan malam dengan beberapa teman mahasiswa. Tak ada musik dangdut yang bising, tak ada jempol yang selalu swipe layar hp mereka, tak ada potongan lagu beberapa detik dari aplikasi Instagram dan Tiktok. Hanya ada obrolan sehat yang tak pernah sudi membicarakan ganteng dan cantiknya seseorang, atau cerita selebritas yang tidak berguna itu. Obrolan tentang seni dan puisi tanpa ada istilah sok indie. Atau tak ada rengekan cengeng saat melihat cuplikan lelaki idamanya main drama. Benar, aku banyak menuntut untuk memuaskan bayanganku yang tidak masuk akal itu. Sadarlah aku, dunia ini tak akan berjalan sesuai dengan keinginanku. Dunia tak mungkin berjalan tanpa tarian jari jempol yang selalu menyapu layar ke arah bawah. Sadarlah, obrolan entertainment selalu lebih menarik dari obrolan berat sok filosofis yang tidak berguna itu. Sadarlah aku, mengeluh tak pernah memberi dampak langsung.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kematian dan Ungkapan ‘Aku Ingin Mati Sendiri dalam Dingin’

Menolak Anggapan Filsafat sebagai Gerbang Menuju Ateisme