Kematian dan Ungkapan ‘Aku Ingin Mati Sendiri dalam Dingin’

Setiap yang hidup akan mati, kalimat sederhana yang semua orang tahu. Untuk saat ini, Manusia hanya hidup dalam waktu kurang dari seratus tahun. Di masa depan, teknologi memungkinkan manusia untuk bertahan hidup lebih lama, bahkan mungkin hidup abadi.

Kematian menjadi sebuah momen yang unik. Untuk seorang yang beragama, kematian adalah sebuah momen atau jalan menuju kehidupan selanjutnya. Untuk seorang nihilis, kematian diartikan sebagai akhir dari ketidakbermaknaan hidup. Untuk orang yang ditinggal mati, kematian adalah sebuah momen gejolak emosi kesedihan, atau juga bisa momen yang begitu membahagiakan.

Banyak sekali pandangan dalam mengartikan kematian. Kematian juga menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Banyak alasan untuk memilih takut mati. Dalam perspektif islam, orang takut mati karena belum siap menanggung beban siksaan. Biasanya orang merasa bahwa ‘bekal’ untuk dibawa mati belum cukup. Orang Islam takut akan siksa neraka jika tidak membawa ‘bekal’ yang cukup. Dari sisi lain, kematian juga menjadi sebuah momen membahagiakan. Banyak sekali orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, mungkin mereka merasa bahwa hidup tidak lebih enak dari mati. Hidup menjadi beban yang luar biasa, lebih sakit dari merasakan momen kematian yang sepersekian menit itu. Bahkan dalam suatu cerita, ada seorang anak kecil yang bunuh diri dengan cara menggantung lehernya di dalam lemari. Tinggi lemari itu tak lebih dari tinggi si anak kecil. Dengan beban emosi yang luar biasa, anak ini menekuk lutut hanya agar lehernya tergantung dengan sempurna. Perjuangan luar biasa hanya untuk mati.

Kematian menjadi hal yang diperhatikan dalam sains. Sejak zaman dahulu, kematian sudah menjadi perhatian para saintis. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui proses kematian. Pernah suatu saat terdakwa hukuman mati potong-leher diminta untuk mengedipkan mata sesaat sesudah dipancung, tak tahu pasti apa hasilnya.

Saintis mulai merintis cara untuk hidup lebih lama. Sebagai bukti, usia rata-rata kemungkinan hidup mulai naik. Manusia sekarang hidup lebih lama dibanding manusia zaman dahulu. Berbagai upaya untuk menghindari kematian dilakukan. Pada zaman dulu, seorang bisa mati hanya karena terkena panah di bahu. Sekarang, ini adalah masalah sepele, infeksi dan luka besar bisa dengan mudah ditangani. Berbagai teknologi juga dibuat untuk menghindarkan orang dari kematian.

Teknologi saat ini memungkinkan manusia untuk menggerakan benda anorganik dengan pikiran. Orang yang tidak punya tangan bisa menggerakan robot tangan hanya dengan pikirannya. Untuk saat ini, teknologi hanya mampu menjadikan sinyal yang dibuat dalam otak menjadi sebuah gerak dalam tangan anorganik. Dalam waktu dekat, tangan anorganik bisa membuat otak merasakan sensasi yang sama dengan apa yang dihasilkan tangan organik. Nantinya teknologi bisa membuat sinyal sensasi rasa meraba ke otak dari sebuah benda dingin, robot. Cepat atau lambat, teknologi bisa membuat sinyal yang diterima dari otak, membuat sebuah gerakan dan mengirim kembali sinyal sensasi raba dari organ tubuh robot itu.

Kematian saat ini masih diartikan sebagai gagalnya fungsi organ tubuh dalam upaya untuk bertahan hidup. Bayangkan, jika teknologi semakin berkembang, teknologi bisa membuat organ penopang kehidupan untuk terus bekerja. Mungkin nantinya teknologi bisa menggantikan organ tubuh itu sendiri. Orang yang sakit jantung, bisa membeli jantung anorganik. Orang yang sakit paru-paru, bisa membeli dan memasang paru-paru buatan. Nantinya, orang yang mampu membeli bisa menjadi cyborg. Tubuhnya dipenuhi dengan robot yang kemungkinan kegagalanya sangat minim, cyborg bisa hidup sangat lama.

Kematian bisa menjadi hal yang sangat mungkin dihindari. Untuk seorang cyborg, ia takan mati sampai organ penopang kehidupannya juga mati. Mungkin cyborg bisa mati jika dibunuh atau tertabrak pesawat jatuh dan hancur berkeping-keping. Untuk saat ini, kematian adalah hal yang mutlak dan tidak bisa dihindarkan.

Dengan matematika singkat, usiaku tak akan sampai pada waktu teknologi berkembang secanggih itu. Jika sudah sampai pada masa itu pun, aku tak punya banyak uang untuk membeli teknologi secanggih itu. Aku punya pengertian sendiri pada kematian.

Aku ingin mati seperti robot yang dikirim ke planet Mars, Mars Rover. NASA sudah mengirim beberapa robot ke planet merah itu. Mars Rover mati sendiri dalam dingin di sebuah planet yang jaraknya sangat jauh dari bumi. Robot yang mati sendiri, namun menjadi momen yang sangat membekas dan mampu mengalirkan badai kesedihan dalam diri banyak orang. Kematian dari sebuah robot yang sangat berkontribusi pada kehidupan umat manusia di masa depan. Saat momen kematiannya, banyak sekali orang yang bersedih, banyak sekali orang yang memerhatikan matinya si robot itu.

Aku ingin mati sepertinya. Aku ingin mati menjadi sebuah benda mati yang pernah bermanfaat bagi manusia, setidaknya dalam lingkunganku. Aku ingin kematianku menjadi momen yang menyedihkan, momen yang sangat disayangkan banyak orang. Atau tak apa aku mati seperti Nikola Tesla, mati dalam kesendirian, namun jasanya sangat besar. Sekali lagi, Tak apa aku mati sendiri dalam dingin. Jika tidak bisa sendiri, tak apa mati dalam keramaian, aku ingin mati seperti Galileo yang memilih mati untuk kebenaran daripada hidup dalam pengakuan palsu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluhan dari Bayangan Lama

Menolak Anggapan Filsafat sebagai Gerbang Menuju Ateisme