Titik Balik

 

Titik Balik

 

Suara adzan mulai terdengar. Jalan raya semakin ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Hujan deras yang turun sejak dini hari membuatnya tak nyaman tidur. Perutnya kosong sejak kemarin pagi, tak punya uang lagi untuk beli makan. Sama dengan orang lain yang tidur di depan kios-kios pasar, Fatih harus mengemas barang miliknya. Satu barang mewah yang selalu ia rawat dengan baik, sleeping bag-nya, tempat tidur mewah pemberian seorang pendaki gunung yang suatu waktu pernah ia tolong. Juga sebuah barang satu-satuanya pemberian emak. Sebuah speaker yang diatur sedemikian rupa sudah ada aki di dalamnya. Mula-mula ia tak perlu repot mengemas barang miliknya, ia hanya perlu duduk jongkok dan menunggu emaknya membenahi barang mereka. Sekarang semuanya harus dilakukanya seorang diri.

“Mari, Mak. Kita pergi ke masjid dulu, aku sudah lapar!” tak sengaja ia berbicara sendiri. Seorang di sampingnya memandangi Fatih dengan ekspresi heran. Seorang gelandangan baru yang malam ini tidur disampingnya. Menganggap Fatih gila karena ia berbicara sendiri. Setiap bangun tidur, Fatih selalu mengatakan kalimat itu pada ibunya. Hari ini, setengah sadar ia lupa bahwa emaknya telah tiada.

Hari menjelang siang. Pasar dekat kios yang ia jadikan tempat tidur mulai ramai. Setiap hari Fatih datang ke pasar itu dan mencari apapun yang bisa ia jadikan uang. Pagi ini, ia datang ke tempat gudang sayuran. Sebuah kiriman dari luar kota datang. Muatan yang sangat banyak ini selalu jadi incaran kuli panggul. Ia juga tertarik.

Pagi ini, Fatih adalah orang pertama yang menawarkan jasa pada pemilik toko. “Pak, nganu, saya mau jadi kuli panggul, bayar secukupnya saja. Biar saya dapat upah lebih kecil dari kuli lain tidak apa pak!” dia katakan itu dengan gemetar. Tak pernah ia lakukan sebelumnya. Mungkin adalah kalimat lamaran pekerjaan pertama yang keluar dari mulutnya.

“Kamu ini. Masih kecil memangnya bisa membawa karung sebesar itu?” Sahut pemilik toko tanpa memandang Fatih. Ia sibuk mencoret-coret catatan yang ada di tanganya. Fatih terdiam dan menunduk. Tak berani menatap mata pemilik toko. Sebenarnya pemilik toko sudah sering melihat Fatih. Sedikit heran ia bertanya dalam hati, mengapa anak sekecil itu menawarkan tenaga yang tidak seberapa untuk mendapat uang. “Ya sudah. Kamu bawa lima kantong kecil itu kemari!” Dengan sigap Fatih menaruh barangnya dan mulai mengangkut lima kantong kecil itu. Didapatnya lima ribu rupiah untuk upah pertama hari ini.

Fatih senang bukan main. Mendapat upah yang jika dihitung lebih banyak dari upah kuli panggul lain. Ia hanya perlu membawa lima kantong kecil dengan upah lima ribu. Kuli lain harus memanggul belasan karung besar dengan upah yang paling banyak hanya dua puluh ribu. Sementara ini, yang terlintas di kepalanya adalah warung makan milik Mbok Yem di ujung pasar sana. Tempat paling murah dan paling enak. Warung makan langganan.

“Mbok, Nasi uduk satu ya. Porsi kecil aja, Mbok. Lagi gapunya uang. Hehe”

“Iya, duduk dulu sini. Kamu ini masih kecil sudah berani berhutang ya. Hutang kemarin sepuluh ribu juga belum dibayar tapi sudah minta makan lagi” Sebenarnya, Mbok Yem kasihan juga dengannya. Ibu Fatih dulu adalah teman dari kampung saat kecil dulu. Pergi ke kota mengadu nasib. Tapi beda nasib yang mereka terima. Tak tega ia lihat anak kecil memegang perutnya, gemetar dan terlihat pucat itu belum makan.

“Apaan nih. Anak kecil ngutang boleh. Lah inyong ga boleh ngutang!” Omel Niko dari pintu warung. Mbok Yem hanya terdiam sembari membuat makanan untuk Fatih “Kemarin, inyong ngga boleh ngutang. Lapar tau! Ya sudah lah pesan juga nasi uduk. Yang banyak nasinya!”

“Minta makan punya uang tidak? Jangan ngutang lagi. Memangnya cuma koe yang butuh duit!”

“Ini punya duit banyak hasil nyopet kemarin malam”

“Astaghfirullah, Mas. Itu kan duit haram.” Fatih dengan polosnya membentak Niko yang jauh lebih tua darinya.

“Eh tau apa koe, Bocil!” Dalam pikiran Niko berputar memori betapa beratnya mendapat uang hanya untuk makan sehari. Seorang bocah yang hanya tau meminta dari ibunya, yang kini sudah tidak ada.

“Saya tidak peduli nggih, Mas Niko. Yang penting kalo mau makan harus bayar!”

“Iya, Mbok! Ya begini lah hidup, cari kerja susah. Tahu sendiri lah saya ini bukan orang jawa. Kulit hitam rambut keriting begini mau nyari kerja di Jawa susah minta ampun. Orang saja takut lihat saya. Memangnya saya ini kriminal atau bagaimana. Ya saya nyopet aja sekalian, Mbok. Butuh duit buat makan.” Mbok Yem terdiam. Memang betul, orang sini susah menerima orang asing. “Kemarin sudah diterima jadi tukang sapu eh dipecat karena saya bukan Islam. Jadi menyesal merantau ke pulau Jawa ini. Mana tidak punya duit buat balik. Pancasila: Keadilan sosial bagi bangsa Indonesia apanya?”

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Mas.” Fatih menjawab.

“Ya itu. Koe gak sekolah tapi pintar ya?” Niko menjawab sambil menerima satu piring makanan dari Mbok Yem. Mereka makan tanpa berbincang. Bagi mereka, makan seperti ritual penting yang wajib dinikmati. Makan adalah sesuatu yang mewah, sesuatu yang wajib dihormati.

Suwun, Mbok!” Mereka berdua tak sengaja mengucap kata yang sama bersamaan. Seperti biasa, Fatih akan pergi ke perempatan untuk mengamen. Bersama satu temannya yang menjual koran mereka pergi bersama. Ia kenakan selendang dan sebuah kuda lumping peninggalan emaknya. Semampunya, ia mulai menari kuda lumping. Menari sepanjang hari meminta-minta uang kecil dari pengendara mobil.

“Ah, cape juga ya mengamen. Mana pelit semua itu orang. Mungkin takut larangan yang baru dipasang itu di pinggir jalan. Katanya dilarang memberi uang pada pengemis. Lha, Inyong kan seniman, bukan pengemis!”

“Duduk sini. Baca koran saja. Ini ada virus baru dari China katanya.”

“Wah kita apa-apa dari China ya? Penyakit juga dari China.”

“Pantas saja sekarang semua orang memakai masker, Tih.”

“Sudah lah. Baca nanti saja, mau nari lagi nih. Nanti gapunya modal buat beli aki spiker lagi.” Ucap fatih sambil mengelap keringat dari kain yang ia temukan di tempat sampah belakang pasar. Sudah ia bersihkan di air AC yang ia tampung di sebuah ember di depan kios.

Ia sadar saat ini semakin banyak orang tidak memberinya uang. Mungkin saja takut membuka kaca mobil. Takut tertular virus mungkin. Karena sudah lama ia tak pernah membaca koran lagi dan baru pagi ini membaca koran, sadarlah ia mengapa banyak orang tak mau membuka kaca mobil.

Hari mulai sore. Tak seperti biasa, banyak sekali orang bersepeda yang lewat. Ramai sekali. Dua orang bersepeda bersama. Mereka bersebelahan saat melintasi perempatan. Dari arah yang sama, ada satu mobil yang melaju kencang. Kaget si pengendara mobil karena jalan yang ia lalui sempit karena dua orang yang bersepeda itu. Mobil tak sengaja menyerempet Fatih yang sedang menerima uang receh dari seorang pemuda, mungkin seorang anak SMA. Fatih terpepet dan badannya diapit dua mobil. Tak sengaja ia rusak spion mobil dari kedua mobil itu. Kacanya pecah. Pemuda itu keluar dan menyeret Fatih masuk mobil. Dibawanya fatih ke pinggir jalan. “Keluar koe bocah!”

“Ampun, bukan salah saya.” Memang bukan salahnya spion mobil itu rusak. Fatih hanya seorang korban.

“Liat ini, mobil mahal begini rusak. Spionnya mahal tau! Liat itu, B-M-W. Tau kan mobil mahal dari Eropa sana?” Bentak orang itu pada Fatih. Kali ini Fatih gemetar lebih hebat dari saat ia lapar tadi pagi. “Harus ganti rugi ya, tidak mau tahu!”

“Ampun, maafkan saya.” Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan. Tak bisa berpikir kata lain.

“Bagaimana ini, bisa ganti tidak ini kaca spionnya? Lima ratus ribu saja buat ganti deh.”

“Ampun.”

“Aku laporin polisi saja ya? Sini saya foto dulu untuk polisi” ancamnya sambil mengarahkan hp miliknya ke arah Fatih.

“Ampun.” Ucap Fatih lirih tak didengar pemuda itu. Barangkali ia sedang menerima telfon dari pacarnya. Terdengar beberapa kali si pemuda itu mengucapkan kata romantis.

“Seminggu lagi kamu ke sini. Bawa uang lima ratus ribu ya! Atau nanti saya laporkan polisi.” Pemuda itu mengancam dan pergi begitu saja. Fatih bingung dan tak tahu apa yang akan ia perbuat nantinya. Ia tak mengerti proses hukum, tak tahu bagaimana bisa ia dihukum. Di pikiran bocah itu hanya terpikir bahwa semua orang kaya adalah tuannya yang harus dihormati, tuan yang bisa lakukan apa saja untuk membuat hidupnya lebih berantakan. Lebih lagi, yang ia takutkan adalah masuk penjara dan dicap criminal, bagaimana nanti dia bisa mencari pekerjaan di pasar jika sudah dicap sebagai kriminal. Sebenarnya bisa saja dia kabur, tidak mungkin juga pemuda itu mau mencari seorang gelandangan kecil yang tidak jelas juga di mana tidurnya.

“Bocil, Kenapa kamu?”

“Mas Niko, Fatih harus mencari utang lima ratus ribu untuk ganti rugi.” Ucapnya masih gemetar juga, tak ingat lapar lagi. Rasa takut sudah mengganti rasa laparnya itu.

“Ikut mencopet saja ayo. Mas janji tidak bakal ketahuan. Nanti diajarin deh.” Niko berkata sambil memegang kepala Fatih. Mengelusnya seperti seorang kakak pada adiknya.

“Mas ini bagaimana. Tidak pernah baca buku ya! Namaku saja diambil dari orang besar, Muhammad Al-Fatih tahu? Sultan yang menaklukan konstatinopel. Masa aku tidak bisa menaklukan niat jahat dalam diri! Yang benar saja, Mas!” Getaran tubuh Fatih mulai mereda.

“Ya sudah, dipenjara nanti loh.”

“Ya mau bagaimana lagi, Ajarin aku!” Mereka tersenyum bersama. Fatih sudah tidak bisa berpikir dengan jernih. Uang banyak yang dibutuhkannya menutup akal dan pikiran jernih bocah itu.

Malam hari mereka mulai beraksi. Mereka pergi ke terminal dekat pasar. Fatih sudah tidak tahu harus bagaimana. Otak cemerlangnya sudah menghitung, tidak mungkin bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu seminggu. Sudah bulat tekadnya untuk mencopet. Mereka menumpang sebuah bis kecil dan mulai beraksi.

“kamu pura-pura nanya alamat ke bapak itu. Bilang mencari orang tua. Bapak itu pasti kasihan sama kamu, Nanti nyong ambil dompetnya.”

“Oke!” Mereka beraksi dan berhasil. Sebuah dompet kulit sudah ada di tangan Niko. Mereka buka dompet itu bersama.

“Ah. Tujuh puluh ribu doang! Miskin kali dia!”

“Alhamdulillah.” Jawab Fatih dengan polos.

“Haram kok bersyukur sama Tuhan? Ayo cari lagi. Gantian, kamu yang ambil dompet ya. Ayo naik bis ini.”

Mereka mulai lagi rencana yang sama. Kali Ini Fatih yang mengambil dompet.

“Copet!!” teriak seorang penumpang. Fatih kaget bukan main. Akalnya tidak bekerja, instingnya berkata bahwa ia harus lari. Tak sengaja Fatih melompat keluar bus kecil yang sedang melaju sangat kencang mendahului sebuah mobil. Badanya terpental sesaat setelah ia menyentuh aspal. Tertabrak lagi oleh mobil yang didahului bus itu sebelumnya. Darah mengalir deras dari kepalanya. Tergeletak ia berlumuran darah.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluhan dari Bayangan Lama

Kematian dan Ungkapan ‘Aku Ingin Mati Sendiri dalam Dingin’

Menolak Anggapan Filsafat sebagai Gerbang Menuju Ateisme