Logika Mistik Media Sosial

Sosial mediaTwitter dan Facebook—menjadi tempatku mencari pandangan lain dalam hidup. Opini orang dan penjelasan panjang lebar semakin membuka pandangan lain. Namun, suatu saat aku juga berpikir bahwa berselancar dalam sosial media, adalah sesuatu yang membosankan, buang waktu dan lebih banyak hal tidak perlu yang bermunculan. Untuk sedikit catatan, tidak sedikit orang memandang sosial media sebagai tempat bersosialisasi—bersosialisasi dalam definisi masyarakat saat ini tentu, aku tahu definisi dalam ilmu sosiologi berbeda makna dengan apa yang kusebut tadi, memang menyebalkan jika orang berbicara namun tak tahu makna. Ya, tidak apa, paling tidak semua orang setuju pada satu makna universal. Memang sesuatu yang ‘tidak perlu’ ini adalah standar pribadiku. Bagiku, tak apa berbagi pengalaman keseharian dalam sosial media, karena memang itulah tujuan awal dibentuknya sosial media. Atau paling tidak membuat opini dan pandangan pribadi dalam menyikapi sesuatu.

Ketenaran menjadi tujuan akhir atau pencapaian utama dalam sosial media, bahkan beberapa orang rela mengeluarkan uang—biasanya dalam giveaway—untuk menaikan pengikutnya dalam sosial media. Cara apapun akan dilakukan untuk mencapai ketenaran, kualitas konten menjadi hal yang tidak diperhatikan dalam ketenaran, makanya orang dengan konten bagus dan idealis cenderung tidak memiliki pengikut banyak dalam sosial media. Jika diperhatikan, follower akun gosip dan berita tak penting selalu memiliki pengikut lebih banyak dalam sosial media. Ini yang kusebut banyak jumlah tetapi kualitas minim. Tentu kualitas yang kusebutkan adalah standarku pribadi.

Ketenaran selalu menjadi sesuatu yang harus dicapai. Di Twitter, sepanjang yang kuketahui, ada beberapa cara untuk menjadi tenar. Cara pertama, membuat thread yang disukai pasar. Orang Indonesia cenderung penasaran dengan pengalaman mistis atau sesuatu yang gaib, cerita horror laku di pasaran Twitter. Penyaji cerita horror selalu mendapat pengikut banyak. Aku sendiri adalah orang yang tidak suka dengan cerita horror, kusebut itu sebagai delusi kebudayaan masal yang setuju akan adanya wujud benda dengan berbagai tujuan jahat, atau singkatnya, cerita yang mengada-ada demi mendapat ketenaran. Bagaimanapun, aku tidak pernah sepenuhnya tidak percaya pada cerita gaib, beberapa orang mengakui adanya energi lain yang tidak dapat ditangkap manusia. Namun, cerita horror dalam sosial media kebanyakan hanya menceritakan pengalaman pribadi yang mengada-ada. Bahkan dalam beberapa cerita bisa kusebutkan beberapa alasan ilmiah dalam pengalaman ‘mistis’ itu, yang paling menyebalkan adalah mereka merangkai itu demi ketenaran!

Cara yang kedua adalah menjadi cantik dan terbuka—maksudnya sexist—pasti laku habis dibabat lelaki berahi! Aku tak mau panjang lebar menjelaskan tentang cara ini, yang jelas cara ini laku di pasaran.

Pernah aku membaca cerita mistis tentang si penulis yang menempelkan foto-foto idol artis Korea-nya dalam kamar dan sempat diganggu oleh makhluk halus dalam tidurnya. Kepercayaan yang kuat akan logika mistis membuatnya percaya bahwa hal yang dialaminya adalah gangguan setan—tapi mengapa orang tidak pernah berpikir atau setidaknya melucu bahwa setan benci K-pop adalah alasan si penulis di ganggu—dalam perspektif Islam memang ada larangan memasang foto makhluk hidup, tak begitu pasti tahu alasannya, menurutku terlalu memuji makhluk-Nya adalah sesuatu yang tidak dibenarkan dalam Islam. Dalam perspektifku, mengidolakan sesuatu dengan berlebihan hanya buang waktu dan tidak ada manfaat dalam hidup, hanya kesenangan singlat belaka, tak ada manfaat jangka panjang. Kusebut itu hedonisme akut! Biar, pikiranku memang kacau. Si penulis menceritakan bahwa dirinya diganggu makhluk halus—dalam sains disebut sleep paralysis—dan menyarankan orang-orang mengikuti anjurannya. Penulis cerita menganjurkan untuk tidak memasang foto idol agar tidak diganggu setan seperti pengalamannya. Lucunya, banyak sekali orang yang setuju dan mengiyakan anjuran tersebut tanpa melihat alasan lain. Kadang membaca cerita seperti ini membuatku sakit kepala dan mual, bahkan memunculkan sedikit amarah dlam diri, orang Jawa menyebutnya getet.

Cerita itu begitu meresahkan, bukan berarti aku takut pada gangguan setan wong aku kurang percaya kok. Logika mistik Indonesia memang sangat tinggi, sesuatu yang sulit dijelaskan selalu dihubungkan dengan hal gaib. Biasa disebut cocoklogi. Orang cenderung malas berpikir dan mencari jawaban paling singkat untuk menjawab pengalaman pribadi. Orang tak mampu memahami sesuatu yang rumit, tak mampu menjelaskan sesuatu dengan alasan ilmiah. Karena itu, banyak sekali fenomena alam yang selalu dikaitkan dengan mitos atau cerita buatan.

Penulis cerita horror cenderung menjelaskan pengalamannya dengan singkat dan selalu dihubungkan dengan hal gaib. Dalam cerita horror yang kusebut di atas, si penulis mengatakan bahwa ibunya melarang penulis memasang foto karena dilarang dalam Islam. Penulis tidak memedulikan dan ternyata beberapa hari kemudian dia ‘diganggu’ oleh makhluk halus. Logika mistiknya menceritakan bahwa dirinya diganggu karena tidak patuh pada anjuran ibu dan disebabkan oleh banyak foto idolnya yang dipajang. Tentu penulis menghubungkan sesuatu dengan sangat mudah, penulis tak mau berpikir panjang lebar tentang apa yang dialaminya, paling tidak harusnya penulis mecari tahu sebenarnya apa yang terjadi. Menyebalkannya lagi, cerita itu tenar dan laku, bahkan aku sendiri membacanya!

Tan Malaka mungkin dulu pernah merasakah gejolak emosi yang sama denganku dalam hal logika mistik. Ia pernah mengatakan bahwa kemajuan Indonesia bisa cepat saat logika mistiknya menurun. Mungkin aku adalah orang yang paling setuju dengan pendapat Tan. Memang kemajuan bangsa bisa terjadi ketika rakyatnya bertambah pintar dan paling tidak punya sedikit logika berpikir. Maka kusebut penulis cerita horror itu sebagai ‘seorang bodoh tak punya logika berpikir yang percaya pada hal gaib sebagai ketakutan imajinatif dari cerita turun temurun masyarakat kuno.’ Jika sebagian besar orang di Indonesia percaya mentah-mentah hal gaib, kusebut kemajuan tak akan datang cepat, proses menuju kemajuan adalah suatu proses yang lama.

Memang itu adalah sebuah kepercayaan, aku tak pernah mampu menyalahkan kepercayaan orang. Kepercayaan adalah suatu pandangan kelompok tertentu. Aku takkan mampu menyalahkan sebuah pandangan. Bukan berarti aku menyalahkan orang yang percaya mistis dan hal gaib, aku sangat menghormati cara berpikir dan kepercayaan orang lain. Apakah kesalku pada cerita horror tadi adalah sebuah penghinaan kepercayaan orang lain? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku menghormati filosofi Jawa yang penuh dengan hal gaib, tentu aku pernah mendengar atau membaca tentang hal gaib dan pandangan orang Jawa tentang itu—aku sendiri Jawa tulen. Dalam filosofi Jawa, orang percaya hal gaib tidak sesederhana orang takut setan, ada keseimbangan alam dan pesan yang mendalam, tidak sesimpel penulis cerita horror yang hanya didasarkan ketakutan imajinatif saja. Aku menghormati kepercayaan Jawa tentang hal gaib, menghormati jika kepercayaanya itu didasari pemikiran yang kuat dan mendalam. Namun, tetap tak suka pada orang yang dengan begitu mudahnya menghubung-hubungkan sesuatu dengan hal gaib. Tetap kusebut mereka adalah orang yang malas berpikir dan memilih jalan pintas illmu gaib.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluhan dari Bayangan Lama

Kematian dan Ungkapan ‘Aku Ingin Mati Sendiri dalam Dingin’

Menolak Anggapan Filsafat sebagai Gerbang Menuju Ateisme