Postingan

Entri yang Diunggulkan

Keluhan dari Bayangan Lama

Mengeluhlah kau mengeluh Sadarlah, kau begitu lemah dan rapuh Sudah Mengeluhlah   Untuk kali pertama ini, aku memberanikan diri untuk memperlihatkan catatan harianku kepada kalian yang mau membaca. Inilah aku yang pandai mengeluh: Bising musik dangdut dengan lirik cerita sedih bahasa Jawa ditambah suara nyanyian koki burjo yang sumbang. Teriakan dan makian sekumpulan orang di meja pojok yang sedang bermain game Mobile Legend. Teriakan si pemain PUBG memberi info posisi musuh, silih berganti menyebut mata angin. Suara potongan musik yang terdengar dari berbagai sudut ruangan, kemungkinan semua orang membuka Tiktok, atau paling tidak membuka Instagram. Semua suara itu beradu, menyatu menjadi paduan suara yang benar-benar buruk. Untuk beberapa saat, aku tak mendengar suara apapun. Telinga ini begitu muak hingga menolak semua suara yang ada. Aku diam. Sejenak, aku kembali ke masa lalu. Kembali mengingat, betapa dulu aku tak sabar lulus SMA. Membayangkan hidup di lingkungan ma

Menolak Anggapan Filsafat sebagai Gerbang Menuju Ateisme

       Filsafat, khususnya di Indonesia, dipandang sebagai ilmu yang tidak bermanfaat. Bahkan filsafat sering sakali diartikan sebagai sesuatu yang dapat menjauhkan orang dari agama. Anggapan orang Indonesia yang paling populer dari filsafat adalah filsafat hanya akan membuat orang yang mempelajarinya menjadi seorang ateis. Lebih dari itu, filsafat pernah dijadikan “barang haram” oleh suatu kelompok tertentu. Persepsi ini lebih menyedihkan dari ekspresi seseorang yang menolak pembicaraan saat mulai menginjak ranah filsafat. Anggapan belajar filsafat sebagai sumber kesesatan—menurut dokrin agama—menjadi anggapan umum di Indonesia. Padahal, pemikiran sekulerisme adalah buah pikir dari filsafat barat (western philosophy) abad 18.      Filsafat berkembang sangat cepat dan luas hingga sekarang ini sudah sangat banyak paham atau aliran yang ada di dunia. Hingga pada akhirnya berkembanglah filsafat sekuler di Eropa pada abad 18. Masa sebelum abad 18 ini dikenal dengan masa Dark Age. Masa di

Titik Balik

  Titik Balik   Suara adzan mulai terdengar. Jalan raya semakin ramai dengan lalu-lalang kendaraan. Hujan deras yang turun sejak dini hari membuatnya tak nyaman tidur. Perutnya kosong sejak kemarin pagi, tak punya uang lagi untuk beli makan. Sama dengan orang lain yang tidur di depan kios-kios pasar, Fatih harus mengemas barang miliknya. Satu barang mewah yang selalu ia rawat dengan baik, s leeping bag -nya, tempat tidur mewah pemberian seorang pendaki gunung yang suatu waktu pernah ia tolong. Juga sebuah barang satu-satuanya pemberian emak. Sebuah speaker yang diatur sedemikian rupa sudah ada aki di dalamnya. Mula-mula ia tak perlu repot mengemas barang miliknya, ia hanya perlu duduk jongkok dan menunggu emaknya membenahi barang mereka. Sekarang semuanya harus dilakukanya seorang diri. “Mari, Mak. Kita pergi ke masjid dulu, aku sudah lapar!” tak sengaja ia berbicara sendiri. Seorang di sampingnya memandangi Fatih dengan ekspresi heran. Seorang gelandangan baru yang malam ini ti

Gosip: Kemampuan Unik Sapiens dalam Menguasai Dunia

Bu Tejo, seorang tokoh di sebuah film pendek yang suka bergosip, dekat-dekat ini ramai dibicarakan banyak orang. Film pendek berjudul “Tilik” dengan sangat bagus memperlihatkan orang desa yang berbincang di tengah perjalanan me- nilik  bu lurah. Perjalanan panjang di atas truk barang yang hanya memperlihatkan perbincangan gosip emak-emak. Gosip — membicarakan orang lain — saat ini dipandang sebagai kegiatan yang cenderung buruk. Bu Tejo, dalam cerita ditempatkan pada tokoh antagonis yang selalu bergosip di sepanjang perjalanan. Gosip saat ini hanya diartikan sebagai percakapan yang buang waktu dan tidak berguna. Berbeda dengan saat ini, gosip pernah menjadi bagian paling penting dalam proses Homo Sapiens menjadi makhluk paling berkuasa di muka bumi. Gosiplah — paling tidak menurutku — yang membuat sapiens mengalahkan berbagai manusia lain di permukaan bumi. Gosip membuat manusia menjadi makhluk paling superior di muka bumi. Bahkan, terbangunnya sistem ekonomi yang rumit, terbentuknya n

Logika Mistik Media Sosial

Sosial media — Twitter dan Facebook —menjadi tempatku mencari pandangan lain dalam hidup . Opini orang dan penjelasan panjang lebar semakin membuka pandangan lain. Namun, suatu saat aku juga berpikir bahwa b erselancar dalam sosial media, adalah sesuatu yang membosankan, buang waktu dan lebih banyak hal tidak perlu yang bermunculan. Untuk sedikit catatan , tidak sedikit orang memandang sosial media sebagai tempat bersosialisasi—bersosialisasi dalam definisi masyarakat saat ini tentu, aku tahu definisi dalam ilmu sosiologi berbeda makna dengan apa yang kusebut tadi, memang menyebalkan jika orang berbicara namun tak tahu makna. Ya, tidak apa, paling tidak semua orang setuju pada satu makna universal . Memang sesuatu yang ‘tidak perlu’ ini adalah standar pribadiku. Bagiku, tak apa berbagi pengalaman keseharian dalam sosial media, karena memang itulah tujuan awal dibentuknya sosial media. Atau paling tidak membuat opini dan pandangan pribadi dalam menyikapi sesuatu. Ketenaran menjadi tujua

Kematian dan Ungkapan ‘Aku Ingin Mati Sendiri dalam Dingin’

Setiap yang hidup akan mati, kalimat sederhana yang semua orang tahu. Untuk saat ini, Manusia hanya hidup dalam waktu kurang dari seratus tahun. Di masa depan, teknologi memungkinkan manusia untuk bertahan hidup lebih lama, bahkan mungkin hidup abadi. Kematian menjadi sebuah momen yang unik. Untuk seorang yang beragama, kematian adalah sebuah momen atau jalan menuju kehidupan selanjutnya. Untuk seorang nihilis, kematian diartikan sebagai akhir dari ketidakbermaknaan hidup. Untuk orang yang ditinggal mati, kematian adalah sebuah momen gejolak emosi kesedihan, atau juga bisa momen yang begitu membahagiakan. Banyak sekali pandangan dalam mengartikan kematian. Kematian juga menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Banyak alasan untuk memilih takut mati. Dalam perspektif islam, orang takut mati karena belum siap menanggung beban siksaan. Biasanya orang merasa bahwa ‘bekal’ untuk dibawa mati belum cukup. Orang Islam takut akan siksa neraka jika tidak membawa ‘bekal’ yang cukup. Dari